"Maaf Bim aku masih belum bisa menerimamu."
Aku baru tahu penolakan itu sesakit ini. Aku terima jika ini karma karena sering meledek kawan-kawanku yang selalu mengagungkan cinta. Tapi, demi mie instan yang jadi menu wajibku di tanggal tua bisakah kenangan pahit bin suram itu enyah dari pikiranku.
Tampang ok, otak encer, lulusan terbaik, sertifikat berjibun, portofolio menumpuk dan skill mumpuni. Oh ayolah orang waras juga tahu bukti tersebut lebih dari cukup untuk melamarnya. Hanya mereka yang gila yang beresiko menolakku. Dan sayangnya aku terlalu cinta mati untuk jadi gila bersama mereka.
*Flashback on*
"Loh kamu lagi Bim? Nggak capek ditolak terus," celetuk manusia paling menyebalkan sedunia memasuki ruangan kaca berkotak tempatku duduk manis menunggu.
"Begitulah. Lah Mas sendiri nggak capek nolak aku," dengan nada kalem.
"Hahaha, ya sudah coba sini aku lihat. Ada yang baru?"
Seperti biasa aku menyerahkan segepok pengalaman dan kemampuan dalam beberapa lembar kertas untuk disodorkan. Mas Agung yang duduk di depanku ini hanya membolak-balik tanpa minat. Seratus persen nggak yakin dokumen lamaranku dibaca.
Bukannya sok kenal atau bermaksud kurang ajar, tapi orang di depanku ini sudah sangat familiar jadi yang pertama kutemui setiap kali melamar dan mengikuti sesi interview. Seperti yang dikatakannya tadi, kami sama-sama keras kepala. Dia kekeuh menolak dan aku bersikeras untuk bisa diterima.
“Maaf Bim aku masih belum bisa menerimamu,” jelas Mas Agung seringan kapas, tapi aku tahu dia cukup berhati-hati mengucapkannya. Lagi, lagi dan lagi ditolak. Dulunya sakit, tapi lama-lama kebas juga ini hati.
“Ok Mas. Tapi kali ini bisakah sekarang saya tahu alasannya. 10 kali mencoba melamar disini dan 10 kali gagal. Mungkin rekor kegagalan saya belum mengalahkan Thomas Alfa Edison, tapi ya masak harus segitunya,” terangku.
“Tolong beri saya sedikit pencerahan selain kata ‘coba baca lagi lamaranmu’, ‘coba lihat dirimu’ dan apalah itu. Sudah saya lakukan semua saran dan semua baik-baik saja tanpa kesalahan.”
“Gini loh Bim,” kata Mas Agung ancang-ancang menjelaskan. ‘Akhirnya’ kata hatiku. “Kamu pernah pacaran atau jatuh minimal?” Suasana hening sesaat.
“Jatuh cinta pernah lah Mas, dulu. Pacarannya yang belum.”
“Karena itu manusia berbakat dan gigih macam kamu ku tolak,” sahutnya. “Bim. Kamu tahu nggak poin penting atau jantungnya agensi periklanan? Cinta Bim C-I-N-T-A. Lalu bagaimana hasilnya orang yang belum mengenal cinta jadi konsultan cinta. Kreatif aja nggak cukup dan kamu perlu jadi expert soal cinta. Kerja insan agensi itu intinya menyatukan cinta antara klien dengan kosumennya.”
*Flashback off*
Hari itu aku ditolak tapi berjanji bakal kembali lagi untuk melamar pekerjaan ‘cinta’. Setidaknya itu jadi catatan mental hidupku bahwa periklanan tak melulu soal kreativitas. Saat ini, biarlah aku menikmati rasanya patah hati dulu buat memperdalam pengalaman cinta, sebelum menjalin cinta dan melamar lagi. ‘God always works in mysterious way’
Komentar
Posting Komentar